Postingan

Kaidah-Kaidah Memahami Sifat-Sifat Allah Yang Mulia (Seri II).Oleh: Ustadz DR.Ali Musri Semjan Putra.M.A.

Gambar
 Kaidah ketiga, Dalam mengimani sifat-sifat Allah harus waspada terhadap dua penyimpangan; tamtsiil (penyerupaan) dan takyiif (membayangkan bentuk). Dalam mengimani segala sifat-sifat Allah yang terdapat dalam Alquran dan hadits-hadits yang shahih kita tidak boleh menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Tanpa terkecuali satupun dari sifat-sifat tersebut. Demikian pula tidak boleh membayangkannya dengan akal pikiran kita tentang bentuk dan hakikat sifat-sifat tersebut. Karena bagaimanapun kita membayangkannya sesungguhnya sifat Allah jauh lebih sempurna dari apa yang kita bayangkan. Tamtsiil  adalah menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk. Seperti mengatakan bahwa pendengaran Allah seperti pendengaran manusia. Adapun  Takyiif  adalah menggambarkan bentuk sifat Allah tetapi tanpa menyerupakan dengan sifat makhluk. Hal ini Allah tegaskan dalam firman-Nya, {فَلَا تَضْرِبُوا لِلَّهِ الْأَمْثَالَ} [النحل/74] “Maka janganlah kalian membuat perumpamaan-perumpamaan bagi Allah.” Ber

Kaidah-Kaidah Memahami Sifat-Sifat Allah Yang Mulia (Seri I).Oleh:Ustadz DR.Ali Musri Semjan Putra. M.A.

Gambar
                   Sesungguhnya Alquran dan hadits-hadits Rasulullah  shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat banyak sekali menyebutkan tentang sifat-sifat Allah. Maka dari itu selayaknya kita sebagai seorang muslim mengeti dan memahami sifat-sifat tersebut sesuai dengan kebesaran Allah tanpa mengingkari dan tidak pula menyerupakannya dengan sifat-sifat makhluk. Serta kita mampu mengambil pelajaran  imaniyah  dan  amaliyah  dari makna sifat-sifat Allah tersebut. Dengan demikian kita akan mampu meningkat kualitas ibadah kita meraih nilai peringkat  ihsan , yaitu beribadah seolah-olah kita menlihat Allah.

Habib Munzir Salah Menerjemahkan Perkataan Al-Baidhoowi rahimahullah

Gambar
                               Prolog : Sesungguhnya perkara yang diperintahkan dalam syariat kita adalah memakmurkan masjid bukan membangun meninggikan dan membangun bangunan di atas kuburan. Justru memakmurkan kuburan dengan beribadah di kuburan merupakan adat kebiasaan Ahlul Kitab (yahudi dan nasoro) yang kita diperintahkan untuk menyelisihi tata cara ibadah mereka. مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَسَاجِدَ اللَّهِ شَاهِدِينَ عَلَى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ أُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ وَفِي النَّارِ هُمْ خَالِدُونَ (١٧)إِنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إِلا اللَّهَ فَعَسَى أُولَئِكَ أَنْ يَكُونُوا مِنَ الْمُهْتَدِينَ (١٨) Tidaklah pantas orang-orang musyrik itu memakmurkan mesjid-mesjid Allah, sedang mereka mengakui bahwa mereka sendiri kafir. Itulah orang-orang yang sia-sia pekerjaannya, dan mereka kekal di dalam neraka. Hanya yang memakmurkan masjid-mas